Runtuhnya Konvensional, Bangkitnya Keuangan Syariah

Sistem keuangan syariah bisa menjadi solusi atas krisis keuangan global. Ada dua alasan yang mendasari itu. Pertama, sistem keuangan syariah hanya membolehkan penyaluran dana kredit atau pembiayaan bila memang ada aset yang dijadikan dasar transaksi (underlying). Kedua, sistem keuangan tanpa bunga ini juga tidak memperbolehkan adanya instrumen derivatif. Kalaupun diperbolehkan seperti di Malaysia dan Timur Tengah, instrumen derivatif hanya boleh digunakan untuk upaya lindung nilai (hedging) atas risiko nilai tukar dalam transaksi pembiayaan ekspor impor (trade finance), bukan untuk mencari untung. Di Indonesia, hingga kini instrumen derivatif masih dilarang.

Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat dunia diliputi kecemasan atas kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global. Berbagai bursa terus mengalami penurunan. Sebagian besar saham perusahaan global dan lokal yang tercatat di bursa terus membukukan penurunan tajam. Kondisi ini memaksa pemerintah dan bank sentral di berbagai negara berpikir keras agar tidak terseret masuk dalam jurang resesi.

Untuk mengatasi krisis, Pemerintah AS siap menggelontorkan dana 700 miliar dolar AS untuk menyelamatkan berbagai lembaga keuangan di negara itu yang terkena dampak subprime mortgage. Selain itu, bank sentral negara ini, The Fed, juga memutuskan menurunkan suku bunga yang diikuti berbagai bank sental negara lain, seperti di Eropa dan Singapura.

Pemerintah Inggris juga siap menggelontorkan dana hingga 50 miliar pound untuk menyelamatkan sektor perbankan negara itu setelah didera kerugian besar akibat subprime mortgage. Tidak jelasnya kapan rampungnya dan besarnya dampak krisis keuangan global diyakini mendorong penurunan tingkat kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan dan perbankan konvensional. Dalam hal ini terjadi contagion effect, di mana terus menurunnya tingkat kepercayaan pasar menular ke berbagai wilayah seiring dengan meluasnya dampak krisis keuangan global.

Kondisi ini berpotensi mendorong pasar mencari sistem keuangan alternatif yang bisa menjadi solusi agar mereka tidak lagi mengalami derita serupa. Salah satu yang dibidik adalah sistem keuangan syariah. Menurut Kepala Kantor Perwakilan Asian Finance Bank (AFB), Ali Zaenal Abidin Shahab, krisis keuangan global akibat subprime mortgage menjadi bukti kegagalan sistem keuangan konvensional. Namun, dampaknya dirasakan oleh banyak masyarakat dunia.

Kegagalan itu mendorong berbagai pelaku pasar untuk melirik sistem keuangan syariah sebagai alternatif. Sistem keuangan syariah diyakini dapat mencegah krisis keuangan global terjadi. Di antara penyebab krisis keuangan global adalah salah dalam memberikan pembiayaan. Dalam konteks perbankan syariah, harus dipastikan transaksi itu pada aset yang jelas. Sistem keuangan tanpa bunga ini melarang transaksi pembiayaan yang hanya didasarkan pada sekuritisasi tanpa aset jelas.

Dalam wilayah kredit perumahan di AS, menurut Shahab, nilai pembiayaan atau utang akibat sekuritisasi bisa mencapai empat kali lipat dari nilai aset. Ini membawa potensi risiko cukup besar bagi lembaga keuangan.Sementara, sistem keuangan syariah hanya membolehkan memberikan pembiayaan berdasarkan aset jelas dengan nilai pembiayaan wajar. Karena itu, bila debitur mengalami gagal bayar (default), bank tidak menderita risiko besar karena transaksi didasarkan pada aset yang ada dan bisa dijual sebagai pelunasan kewajiban.

Pendapat serupa juga diungkapkan Dirut Karim Business Consulting, Adiwarman Azwar Karim. Bila kasus subprime mortgage terjadi pada industri keuangan dan perbankan syariah, menurutnya, potensi kerugian hanya senilai pembiayaan yang diberikan.Kerugian tidak terus membesar seperti dialami perbankan dan lembaga keuangan konvesional lain akibat menggunakan derivatif berlapis. Dengan demikian, penggunaan sistem keuangan syariah bisa membawa ekonomi dunia menjadi jauh lebih stabil

http://www.sebi.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=467&Itemid=33

Bunga Naik tak Picu Perpindahan Simpanan Syariah

JAKARTA-- Naiknya bunga simpanan bank konvensional dinilai tak akan memicu perpindahan dana serupa di bank syariah. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), margin bagi hasil simpanan bank syariah cukup bersaing dengan bunga bank konvensional sekitar 11 persen.

Bahkan, simpanan sejumlah bank syariah seperti Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Mega Syariah (BMS) mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Hal itu diperkuat data otoritas moneter yang menyebutkan dana pihak ketiga perbankan syariah per September lalu tumbuh empat persen menjadi sekitar Rp 33,6 triliun dari sebulan sebelumnya Rp 32,4 triliun.

Menurut Anggota Kompartemen Syariah Perbanas, Abdullah Al Jufri, perang bunga antar bank konvensional saat ini tidak memicu perpindahan dana perbankan syariah. Hal itu karena nasabah mereka umumnya cukup loyal mendukung perkembangan perbankan syariah.

Pada krisis moneter 1997 lalu, perpindahan dana besar-besaran tidak terjadi pada bank syariah dan justru terjadi pada bank konvensional. ''Jadi, saat ini tidak ada perpindahan dana besar-besaran hingga triliunan rupiah dari bank syariah ke bank konvensional,'' katanya kepada Republika, Kamis, (16/10).

Meski demikian, staf khusus Direktur Utama Bank DKI ini mengakui, ada beberapa nasabah yang memindahkan dana mereka ke bank konvensional. Namun, hal itu tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan simpanan perbankan syariah.

Ia mencontohkan, hingga 16 Oktober 2008, DPK Bank DKI Syariah tercatat sekitar Rp 160 miliar atau hanya turun tipis 0,45 persen dari akhir Agustus lalu. Menurut Abdullah, struktur dana bank syariah sebetulnya lebih kuat dibandingkan bank konvensional. Hal itu karena tidak ada dana nasabah yang diinvestasikan pada instrumen derivatif berbasis spekulatif. Sebagian besar dana mereka disalurkan pada pembiayaan sektor riil. Kondisi itu membuat dana mereka jauh lebih aman dibandingkan disimpan di bank konvensinal.

Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS BI) Ramzi A Zuhdi kenaikan bunga justru mendorong bank syariah menyesuaikan margin bagi hasil simpanan agar tetap kompetitif. ''Teman-teman (unit usaha syariah, Red) di bank konvensional cukup sadar dngan kenaikan bunga konvensional. Karena itu, mereka meningkatkan tingkat bagi hasil simpanan untuk mempertahankan nasabah,'' katanya.

Saat ini, kata Ramzi, simpanan pada sejumlah bank syariah justru meningkat. Hingga September lalu, DPK bank syariah mengalami pertumbuhan sekitar empat persen dari bulan sebelumnya. ''Saya lihat di beberapa bank syariah seperti Bank Mega Syariah dan Bank Syariah Mandiri malah mengalami kenaikan. Selain itu, di Bank Muamalat, DPK juga cenderung stabil dan terus tumbuh,'' ujarnya.

Ekonomi Islam Dapat Dijadikan Model Baru Atasi Krisis Global

JAKARTA -- Direktur Bank Muamalat U Saefudin Noer, Rabu, mengungkapkan bahwa "Islamic Economic" dapat dijadikan model baru untuk mengatasi "bublle" ekonomi yang terjadi saat ini.

"Banyak negara saat ini melihat sistem ekonomi Islam untuk dijadikan referensi untuk mengatasi 'gelembung atau bublle' yang terjadi saat ini," kata Saefudin, saat berbicara dengan ANTARA di Jakarta, Rabu.

Beberapa negara sudah mulai mengembangkan ekonomi Islam, seperti Hongkong dengan mengembangkan "Islamic Economic Center", ungkapnya.

Salah satu penyebab permasalahan krisis keuangan yang melanda Amerika adalah berkaitan dengan industri "subprime mortgage" (KPR Subprima).

Dia juga menyebutkan bahwa permasalahan krisis yang melanda ekonomi dunia saat ini, bukan hanya diakibatkan sistem kapitalisme yang diragukan kemampuannya dalam mewujudkan kesejahteraan dunia, tetapi juga diakibatkan oleh berubahnya etika moral para pelaku dunia keuangan.

Para pelaku ekonomi gaya kapitalis ini lebih cenderung melakukan rekayasa produk spekulasi untuk mencari keuntungan yang cenderung rakus (greedy), kata Saefudin.

Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya.

Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga, maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil.

Selain itu, Saefudin juga mengungkapkan bahwa perbankan syariah juga pro sektor riil, sehingga mendorong ekonomi negara bergerak, sehingga bisa menyelamatkan dari krisis.

Konsep bagi hasil yang diterapkan bank syariah adalah menginvestasikan dana nasabah di bank terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan.

Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya, katanya.

Perbankan Syariah di Indonesia

Perbankan syariah di Indonesia yang muncul pertama kali adalah PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada 1992 ini merupakan yang tidak mendapat suntikan dana pemerintah saat krisis 1998 lalu.

Pengalaman itu dapat dijadikan bukti bahwa sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam BMI bisa selamat dari krisis yang terjadi di sektor industri perbankan, jelasnya.

"Pada saat krisis 1998 lalu perbankan Indonesia telah menaikkan suku bunganya yang tinggi, sehingga yang terjadi adalah negatif margin karena perbankan tidak bisa menyalurkan kredit kembali dan timbul kredit macet," jelasnya.

Dia juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan bank syariah di Indonesia sangat pesat, namun "size"nya masih kecil. "Pertumbuhan bank syariah sebesar 60 persen tahun lalu, memang bank syariah asetnya masih sekitar 2-3 persen dibanding bank konvesional," jelasnya.

Sedangkan pasar bank syariah sendiri, BMI telah menguasai 35 persen pangsa pasarnya, dengan transaksi paling besar dari sistem traksaksi Murabahah (Jual-beli), diikuti oleh sistem transaksi mudharabah (bagi hasil) dan sistem transaksi Ijarah (sewa).

Tantangan yang dihadapi bank syariah di Indonesia saat ini perlunya modal yang lebih besar untuk mengembangkan usahanya, sumber daya manusia yang belum mampu mengimbangi pertumbuhannya dan jaringan kantor.

Saefudin juga mengungkapkan bahwa bank syariah tidak akan melakukan pendanaan besar-besaran disaat bank konvensional sedang melakukan pengetatan likuiditas akibat krisis saat ini. "Kita memang tidak akan menghentikan pendanaan, namun perlu ditingkatkan sistem prudential (kehati-hatian) dalam penyaluran dana," jelasnya. -ant/ah

http://www.republika.co.id/berita/10792.html

Ekonomi Islam vs. Konvensional

Diskusi mengenai apakah itu ekonomi Islam, dan apa bedaannya dengan sistem yang sudah ada (sosialisme atau kapitalisme) bisa menjadi diskusi yang panjang dan rumit. Masalahnya, itu harus dimulai dari pekerjaan awal yang juga tak mudah: mendefinisikan apa itu ekonomi Islam, dan apa itu sosialisme maupun kapitalisme.

Untuk memudahkan urusan, saya tak akan masuk ke tataran definisi dan filosofi masing-masing. Saya akan membahas tataran praktek; bagaimana ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional secara praktek. Sebagai catatan, yang saya maksud sebagai ”ekonomi konvensional” di sini merujuk pada sistem kapitalisme yang secara teori dibangun atas dasar teori ekonomi neoklasik. Ini adalah teori ekonomi yang menjadi acuan standar sebagian besar fakultas ekonomi di seluruh dunia. Saya tak membuat klaim bahwa sistem ini yang terbaik atau sempurna. Tapi kenyataannya adalah: dalam diskursus ekonomi, teori ekonomi neoklasik sudah menjadi arus utama.

Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi sistem bunga. Kedua, pemikiran tentang keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi.

Untuk Lebih Jelasnya marilah kita lihat perbedaanya:

Perbedaan Bank Konvensional Dengan Bank Syariah

Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau prinsip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan keadilan.

Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :

1. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di awal artikel ini. Sangat menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.

2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya.

Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja.

3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)

4. Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi.

Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan

Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di cabang bank syariah

Tinjauan Kritis Terhadap Ekonomi Islam

Deskripsi paling sederhana dari ekonomi Islam adalah ”suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam”, dimana ”keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Alquran, Sunnah, ijma dan qiyas” (Nasution dkk, 2006). Secara umum, lahirnya ide tentang sistem ekonomi Islam didasarkan pada pemikiran bahwa sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam tentulah tak hanya memberi penganutnya aturan-aturan soal ketuhanan dan iman saja, tapi juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, termasuk ekonomi.

Ayat Alquran, hadits dan berbagai literatur Islam klasik, memang memuat berbagai pemikiran mengenai filsafat, perilaku dan institusi ekonomi. Namun, ide tentang adanya sebuah disiplin atau sistem ekonomi yang ’islami’ dalam arti spesifik dan unik, sebenarnya adalah fenomena baru, menurut ekonom dari University of Southern California, Timur Kuran (2004). Menurut Kuran juga, ide ini bisa ditelusuri tidak lebih lama dari awal abad ke-20. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Islam klasik dalam hal ekonomi sebenarnya lebih merupakan ide-ide terpencar, belum merupakan sebuah desain komprehensif mengenai sistem ekonomi yang islami.

Terlepas dari kapan sebenarnya ide sistem ekonomi Islam lahir, pertanyaan lain adalah di mana posisinya relatif terhadap kapitalisme dan sosialisme? Sebenarnya, sistem ekonomi Islam punya sejumlah karakteristik yang sama baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang penting dalam kapitalisme. Tapi selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi negara, terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia.

Meski demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar itu. Perbedaan yang utama dan pertama adalah: secara epistemologis ekonomi Islam dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat.

Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan oleh Islam.

Tiga perbedaan ini membuat proponen ekonomi Islam memandang bahwa sistem ini lebih superior dibandingkan sistem-sistem lain. Tentunya pandangan ini menyisakan sebuah pertanyaan penting. Jika benar sistem ekonomi Islam superior, tentunya ia akan lebih mampu mengatasi masalah dan tantangan peradaban manusia modern. Tapi faktanya, saat ini sistem tersebut bukanlah (atau belum?) merupakan sistem ekonomi yang dominan di dunia, bahkan bukan juga di negara-negara meyoritas Muslim. Kalau ia adalah sistem yang sempurna, mengapa tidak ada rujukan sejarah dimana sistem ini bisa dibilang berhasil dan masih tetap relevan di masa sekarang?

Islam, imperialisme dan perjuangan

Sejak pemusnahan Pusat Perdagangan Dunia pada 11hb September 2001 dan serang balas ke atas Afghanistan, perkataan-perkataan seperti ‘fundamentalisme Islam’ dan ‘Islamisme’ telah diberikan liputan berleluasa oleh ahli-ahli politik, media massa dan pengulas-pengulas, biarpun di dunia Barat atau Timur. Namun, terdapatnya kekeliruan umum di antara Islam sebagai agama yang dianuti oleh lebih kurang satu perlima daripada penduduk dunia dan kumpulan-kumpulan politik dengan jumlah penyokong yang jauh lebih kecil. Kekeliruan ini bukan sahaja terhad kepada kerajaan-kerajaan yang telah memupuk pandangan bahawa kumpulan-kumpulan ini terdiri daripada ‘fanatik’ atau ‘imam gila’ – misalnya kerajaan Republikan di Amerika Syarikat dan Parti Buruh Baru di Britain.

Bagi pihak sosialis, ia adalah penting untuk memahami bahawa Islamisme tidak dapat difahami di luar konteks imperialisme Barat yang telah menghancurkan kehidupan berjuta-juta orang di seluruh dunia. Ini tidak pernah menjadi kes menafikan kesengsaraan mereka yang meninggal dunia dalam Menara Berkembar di New York. Sebaliknya, ia merupakan persoalan menekan bahawa mereka yang bersengsara di bawah bom Amerika Syarikat dan Britain juga mempunyai hak kehidupan. Sebagai reaksi kepada krisis-krisis seperti ini, Islamisme telah bangkit sebagai kuasa untuk menentang imperialisme, biarpun kemungkinan FIS merampas kuasa di Maghribi mahupun kejayaan PAS di beberapa negeri di Malaysia. Dalam vakum yang diwujudkan oleh kelemahan sayap kiri revolusioner dan kegagalan reformasi, pihak Islamisme telah diberikan dasar untuk bertumbuh dengan pesat. Tetapi ia adalah balasan yang dapat memandang ke belakang, serta memeluk beberapa ciri yang paling reaksioner dari zaman pra-kapitalis, dan bukannya mendesak ke hadapan untuk menentang imperialisme. Untuk memahami bagaimana Islamisme sebagai gerakan politik telah bangkit, ia adalah penting untuk mengkaji agama Islam sebagai sesuatu ideologi terlebih dahulu.

Di antara agama dan ideologi

Dalam usaha mengkaji mana-mana ideologi sebagai agama, ia adalah penting untuk memahami bahawa walaupun pertubuhan-pertubuhan dan idea-idea keagamaan memainkan peranan dalam sejarah, ini tidak berlaku secara asing daripada realiti materialis. Dalam erti kata lain, agama mesti difahami dari perspektif materialis yang memahami kelas dan perkembangan kapitalisme serta imperialisme. Inilah yang dimaksudkan oleh Friedrich Engels apabila dia menulis mengenai perang-perang keagamaan pada abad ke-16 di Eropah: “Walaupun perjuangan-perjuangan kelas masa tersebut diajukan di bawah cogan kata keagamaan, dan walaupun kepentingan, keperluan dan tuntutan kelas-kelas yang berbeza disembunyikan di sebalik tabir keagamaan, ini tidak mengubahkan apa-apa dalam perihal tersebut dan dijelaskan dengan mudah oleh keadaan-keadaan masa itu.”

Dari segi ini, Islam tidaklah berbeza daripada mana-mana agama yang lain. Ia telah bangkit dalam konteks masyarakat perdagangan di tanjung Arab pada abad ke-7, di kalangan masyarakat yang masih teratur pada dasar puak. Keinsanan zaman pra-Islam mempunyai pelbagai ciri menarik, tetapi ia tidak mampu menyatukan puak-puak yang berlainan. Salah satu sebab bagi kerumitan perpaduan ini merupakan kepelbagaian tuhan-tuhan yang dipuja – kepercayaan dalam tuhan-tuhan yang berlainan ini telah mengutarakan perbezaan-perbezaan puak, yang seringkali ditenatkan lagi oleh persaingan komersil. Muhammad memahami dunia komersil ini. Desakan keagamaan Muhammad dijana oleh keghairahan sosio-ekonomi, oleh usaha untuk menguatkan pendirian komersil kaum Arab dan keperluan untuk menekan peraturan-peraturan yang serupa. Agama Islam telah digunakan sebagai pelekat yang digunakan oleh Muhammad untuk menyatukan puak-puak Arab, dan maka tidak dapat dinafikan bahawa agama tersebut mencerminkan realiti zaman tersebut.

Islam telah berbunga dalam masyarakat-masyarakat yang berlainan kerana ia telah berjaya menyesuaikan diri kepada kepentingan-kepentingan kelas yang berlainan. Sambil mendapat sokongan pedagang-pedagang, pemilik-pemilik tanah serta usahawan-usahawan kapitalis moden (iaitu kelas-kelas atasan), ia juga telah mendapat kesetiaan kelas-kelas bawahan dengan menawarkan gantirugi kepada rakyat jelata yang miskin dan ditindas. Mesej agama Islam merupakan imbangan di antara kesemalatan duniawi bagi golongan yang ditindas serta kemunasabahan bagi kelas-kelas yang mengeksploitasi.

Misalnya, Islam menyarankan bahawa golongan kaya mesti membayar cukai agama sebanyak 2.5 peratus (zakat) bagi perlindungan golongan miskin, bahawa pemerintah-pemerintah mesti mentadbir dengan adil, bahawa suami tidak patut berdosa terhadap isterinya. Tetapi ia juga menganggap penumbangan golongan kaya oleh golongan miskin sebagai pencurian, mendesak bahawa sesiapa yang tidak mengikuti arahan kerajaan ‘adil’ adalah penjenayah yang perlu dihukum sepenuh-penuhnya, dan tidak melayani kaum perempuan secara sama rata dengan kaum lelaki dari segi perkahwinan, kewarisan, hak menjaga anak jika bercerai dan sebagainya.

Tetapi jika idea-idea Islam ingin bersifat terbuka kepada kepentingan-kepentingan kelas yang berlainan, ia perlulah bersifat kabur dan dapat difahami dengan cara-cara yang berlainan (ini sebenarnya merupakan ciri umum kebanyakan agama, dan bukannya agama Islam sahaja). Ini adalah benar mengenai Islam sejak permulaannya. Sebagai contoh, selepas kematian Mohammed pada 632, percanggahan pendapat telah metelus di antara Abu Bakr, yang telah menjadi Kalifah pertama (pengganti Mohammed sebagai ketua Islam), dan Ali, iaitu suami kepada anak perempuan Mohammed bernama Fatima. Ali mendakwa bahawa beberapa daripada pemerintahan Abu Bakr terlalu bersifat menindas. Percanggahan pendapat ini bertumbuh sehingga tentera-tentera Islam yang berbeza bertempur dengan satu sama lain dalam perang saudara Islam pertama. Versi-versi Islam yang berbeza, iaitu Sunni dan Shia, telah bangkit dari pemisahan ini. Namun, ini hanyalah merupakan salah satu daripada beberapa pemisahan.

Malah, Islam aliran utama mutakhir juga bukanlah terdiri daripada kepercayaan-kepercayaan serupa. Penyebaran agama tersebut ke seluruh kawasan dari Afrika utara sehingga Filipina selatan telah melibatkan penyesuaian agama Islam kepada keadaan-keadaan tempatan, walaupun ini mungkin bercanggah dengan kebanyakan saranan Islam asal. Maka, beberapa versi Islam, misalnya di Sumatera, mengandungi pujaan nabi-nabi tempatan atau pusaka-pusaka suci walaupun Islam ortodoks tidak membenarkan pemujaan seperti itu. Malah, terdapat juga beberapa persaudaraan Sufi yang meletakkan tekanan pada pengalaman ajaib, yang sudah pasti ditentang oleh pihak Islamis ortodoks.

Biarlah kita mengkaji satu lagi contoh yang mempunyai kepentingan mutakhir. Wahhabisme merupakan salah satu cabang Islam, dan adalah agama rasmi Arab Saudi (tanahair Osama bin Laden) dan dinasti pemerintah di negara itu – iaitu salah satu kelas pemerintah yang paling reaksioner dan zalim di dunia pada hari ini. Ia berbenih dengan Muhammad Ibni Abdul Wahhab, seorang imam pada abad ke-18 yang menginginkan pengembalian kepada zaman ‘suci’ Islam. Falsafah Wahhab hanya menjadi kuasa materialis apabila ia bergabung dengan seorang amir dan penyamun tempatan, Muhammad Ibni Saud, yang menginginkan perpaduan tanjung Arab. Selepas penumbangan Empayar Utmaniah, seorang amir dari Nejd (iaitu pewaris Ibni Saud) telah menjadi pemerintah patung bagi Britain. Arab Saudi telah dibentukkan pada tahun 1927 dan perusahaan-perusahaan minyak Amerika Syarikat telah memasuki negara itu pada tahun 1930-an. Mereka dan pemerintah Wahhabi telah menjalin hubungan rapat sejak itu, kerana pemerintah beraja Wahhabi menjaga bekalan-bekalan minyak dan mendirikan halangan kepada sosialisme dan nasionalisme sekular. Contoh ini bukan sahaja bertujuan untuk menunjukkan percanggahan-percanggahan di dalam agama Islam sendiri, tetapi juga betapa terbelitnya agama dengan kerajaan dan imperialisme.

Dalam keadaan seperti ini, mana-mana tuntutan untuk pengembalian kepada amalan-amalan pada masa nabi Mohammed bukanlah berkenaan dengan mengekalkan masa silam tetapi mengenai membentukkan tingkahlaku rakyat menjadi sesuatu yang baru. Lebih-lebih lagi, usaha membina semula masyarakat ini bukanlah bertujuan menghasilkan masyarakat Islam abad ke-7, kerana pihak Islamis tidak menolak setiap ciri masyarakat mutakhir. Secara umumnya, mereka menerima industri moden, teknologi moden dan kebanyakan sains yang menjadi dasar baginya. Maka, pihak ‘pembangkit semula’ ini sebenarnya sedang mencuba mewujudkan sesuatu yang tidak pernah wujud sebelum ini, yang menggabungkan tradisi-tradisi kuno dengan bentuk-bentuk kehidupan moden.

Ideologi kebanyakan pihak Islamisme adalah untuk menubuhkan negara Islam pada dasar teologi. Pelbagai ilmiawan Islam (ulama) telah mencuba untuk memahami teologi Quran asas seperti yang tertera dalam masyarakat-masyarakat dan ekonomi-ekonomi sepanjang sejarah Islam. Walaupun terdapat perbezaan-perbezaan besar di antara pemahaman-pemahaman ini, hampir kesemuanya tidak mengutarakan tentangan terhadap sistem kapitalis moden. Mana-mana pemahaman ekonomi dan politik moden oleh Islamisme kekal sebagai sesuatu yang tidak sempurna kerana hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik masyarakat mutakhir tidak diterima pada dasar materialis. Misalnya, dalam satu tangan, Islam menjamin hak permilikan swasta, perusahaan swasta dan hak kepada keuntungan. Namun, secara paradoks, ia juga menuntut persaudaraan, kesama-rataan dan kerohanian. Dalam hubungan-hubungan pengeluaran kapitalis, ini merupakan percanggahan-percanggahan tenat.

Biarlah kita mengkaji satu contoh: cara yang ingin digunakan oleh pihak Islamisme untuk mewujudkan masyarakat yang adil adalah zakat, yang sedikit sebanyak dapat disamakan dengan usaha kebajikan. Mana-mana ekonomi yang didasarkan pada kebajikan tidak dapat mencerminkan masyarakat tanpa kelas. Serupa dengan itu, peminjaman wang pada kadar yang tinggi tidak dibenarkan oleh Islam. Tetapi kewujudan keuntungan menafikan segala pengharaman ini. Misalnya, kebanyakan bank di negara-negara Islam teokratik menamakan kadar faedah sebagai keuntungan. Ini hanyalah wajah yang lain bagi ekonomi kapitalis. Di Iran, di mana sebuah negara Islam telah didirikan selepas revolusi ‘Islamis,’ keadaannya tidaklah sangat berbeza. Selepas lebih sedekad di bawah pemerintahan Islam Shia, ekonomi negara tersebut berada dalam keadaan kucar-kacir. Pengeksportan minyak telah merosot dan inflasi telah mencapai tahap 60 peratus setahun. Yang perlu difahami di sini adalah bahawa teologi Islamisme (dan mana-mana teologi keagamaan yang lain) tidak dapat menawarkan tentangan sosio-ekonomi terhadap sistem kapitalis global.

Eksperimen Islamisme di Iran menunjukkan percanggahan jelas di antara ekonomi moden dan mitos-mitos metafizikal Islam. Dengan struktur ekonomi yang didasarkan pada permilikan swasta dan hak perusahaan swasta, Islamisme sememangnya bergabung dengan ekonomi imperialis dalam kitaran-kitaran ekonomi moden. Maka, tanpa perubahan hubungan-hubungan permilikan dengan mendalam, setiap doktrin Islamisme akan mendukung hubungan-hubungan permilikan swasta pada mana pengeluaran kapitalis dan imperialis bersandar. Pendek kata, pengalaman dan pemahaman telah menunjukkan bahawa doktrin ‘ekonomi Islam’ bukanlah alternatif kepada sistem kapitalisme dan ia juga tidak dapat menghalang pengeksploitasian dan penindasan yang berlaku di bawah kapitalisme. Maka tidak hairanlah bahawa ramai ulama Islam mengajukan bahawa pengaturan ekonomi patut dibiarkan kepada “kuasa-kuasa pasaran.”

Dari segi politik, Islam tradisionalis dapat difahami sebagai ideologi yang mencuba mewujudkan sesuatu susunan sosial yang sedang dilemahkan oleh perkembangan kapitalisme, atau untuk menyembunyikan perubahan kelas pemerintah lama menjadi kapitalis moden. Namun, terdapatnya kekaburan perbezaan-perbezaan di antara Islamisme dan tradisionalisme. Oleh kerana konsep pembinaan semula masyarakat diselubingi dengan bahasa keagamaan, ia adalah terbuka kepada pemahaman yang berlainan. Ia dapat bermakna pengakhiran “amalan-amalan merosot” melalui pengembalian kepada bentuk-bentuk tingkahlaku yang kononnya mendahului “kekotoran Islam.” Maka, tekanan di sini adalah pada “kemaluan” perempuan (misalnya, dengan pemakaian tudung atau melarang perempuan meninggalkan rumah), pengakhiran kepada “percampuran kaum lelaki dan perempuan” (misalnya, dengan pengakhiran pergaulan perempuan dan lelaki di kedai, tempat bekerja dan sekolah), tentangan terhadap muzik dan rancangan television Barat, dan sebagainya.

Tetapi pembinaan semula juga dapat bermakna mencabar kerajaan dan unsur-unsur penguasaan politik imperialisme. Maka, Islamis Iran pernah merampas kawalan ke atas kedutaan Amerika Syarikat semasa Revolusi tahun 1978-1979; kumpulan Hizbollah di Lubnan selatan dan Hamas di Tebing Barat dan Gaza telah memainkan peranan penting dalam perjuangan menentang Israel; kumpulan-kumpulan Islamis di Timur Tengah telah menganjurkan demonstrasi-demonstrasi besar menentang pengeboman Afghanistan. Yang penting untuk difahami di sini adalah bahawa penjelasan-penjelasan “pembinaan semula” dapat menarik orang dari kelas-kelas yang berbeza. Tetapi bahasa keagamaan yang digunakan dapat menghalang mereka daripada menyedari perbezaan-perbezaan kelas di antara satu sama lain. Di sebalik kekeliruan idea-idea ini terdapatnya kepentingan-kepentingan kelas yang jelas.

Islamisme dan kelas

Islamisme telah bangkit di kalangan masyarakat-masyarakat yang telah dibinasakan oleh kapitalisme. Dalam erti kata lain, ia mewakili percubaan oleh mereka yang dibesarkan dalam agama Islam tradisional untuk memahami percanggahan-percanggahan yang telah diperkenalkan oleh penyebaran kapitalisme. Pertumbuhan tidak sama rata di bawah kapitalisme imperialis telah mewujudkan masyarakat yang sangat berbeza daripada dunia Barat. Sambil industrialisasi pesat telah berlaku di kebanyakan kawasan Dunia Ketiga, perkembangan kemudahan-kemudahan asas seperti air minuman bersih, bekalan elektrik, perumahan murah, pendidikan dan kesihatan telah ditinggalkan oleh kapital kewangan. Misalnya, di antara tahun 1982 dan 1992, jumlah penduduk Pakistan bertumbuh sebanyak 33 peratus sambil kemudahan-kemudahan asas hanya bertumbuh sebanyak 6.9 peratus.

Keadaan-keadaan kehidupan melarat ini telah menjadi kawasan pertumbuhan bagi Islamisme. Tetapi ia tidak mendapat sokongan yang sama rata dari setiap lapisan masyarakat – beberapa lapisan memeluk ideologi borjuasi sekular moden atau ideologi nasionalis, sambil lapisan-lapisan yang lain bergerak menuju sesuatu bentuk balasan kelas pekerja sekular. Seperti yang telah diajukan oleh Chris Harman dalam risalahnya bertajuk Nabi dan Proletariat, kebangkitan Islamisme mendapat sokongan dari empat kumpulan sosial yang berbeza (dan setiap satu memahami Islam dengan caranya tersendiri), iaitu kumpulan pengeksplotasi lama, kumpulan pengeksploitasi baru, golongan miskin yang digusurkan dari kawasan desa, dan kelas menengah baru.

Namun, kuasa yang menghidupkan politik Islam pada masa ini, secara umumnya adalah kelas menengah baru yang telah bangkit dari modenisasi kapitalis di seluruh Dunia Ketiga. Biarlah kita mengkaji contoh Mesir. Gerakan Islamis di Mesir telah dilahirkan lebih kurang pada tahun 1920-an, apabila Hassan al-Banna telah mengasaskan Persaudaraan Islam. Ia bertumbuh sepanjang tahun 1930-an dan 1940-an sambil perasaan kurang yakin menjadi kukuh selepas kegagalan parti nasionalis sekular, iaitu Wafd, untuk menentang penjajahan Britain. Dasar gerakan ini terdiri daripada pekerja-pekerja perkhidmatan awam dan para pelajar, tetapi ia menyebar untuk melibatkan pemburuh-pemburuh bandar dan golongan petani. Dalam membina gerakan tersebut, Banna bersedia untuk bekerjasama dengan tokoh-tokoh yang rapat dengan keluarga di-raja Mesir, seperti Raja Farouk, seorang anak buah Britain yang dibenci oleh orang ramai di Mesir. Malah, sayap kanan Wafd telah melihat Persaudaraan Islam sebagai imbangan kepada pengaruh Komunis di kalangan pekerja dan pelajar.

Tetapi Persaudaraan itu hanya dapat bersaing dengan pihak Komunis bagi sokongan kelas-kelas menengah kerana bahasa keagamaannya menyembunyikan kesetiaan kepada reformasi yang melintasi hasrat sahabat-sahabat sayap kanannya. Pendek kata, matlamat-matlamatnya tidak sepadan dengan susunan sedia ada yang dipupuk oleh kelas-kelas pemerintah. Persaudaraan tersebut akhirnya dihapuskan apabila rejim ketenteraan baru di sekeliling Abdul Nasser telah memusatkan kuasa dalam tangannya pada tahun 1950-an. Percubaan untuk menghidupkan semula gerakan tersebut pada pertengahan tahun 1960-an telah membawa pembunuhan pemimpin-pemimpinnya. Namun, pengganti-pengganti Nasser telah membenarkan kewujudan separuh sah selagi ia mengelakkan konfrontasi dengan rejim kerajaan. Kepimpinan Persaudaraan Islam telah menerima batasan-batasan ini sambil mendapat sumbangan-sumbangan kewangan dari ahli-ahli mereka di Arab Saudi.

Tetapi ini juga bermakna bahawa mereka telah kehilangan pengaruh ke atas generasi Islamis baru yang telah bangkit dari universiti-universiti dan kelas mengenah moden yang merana. Islamisme baru ini mendakwa bahawa Persaudaraan Islam terlalu jinak dan merekalah yang yang bertanggungjawab bagi pembunuhan Presiden Sadat pada tahun 1981. Mereka juga telah memperjuangkan pertempuran bersenjata menentang kerajaan dan inteligensia sekular. Pertubuhan-pertubuhan pelajar Islamis ini telah bertumbuh sebagai reaksi kepada keadaan-keadaan di universiti-universiti dan harapan yang mereka menghadapi setelah mendapat ijazah. Jamaa al-islamiyya (pertubuhan-pertubuhan Islam) telah mendapat kekuatan mereka dari kemampuan untuk mengenalpasti kesusahan-kesusahan ini dan memberikan penyelesaian dalam bahasa keagamaan. Setelah pihak Islamis telah mendapat dasar sokongan di universiti-universiti, mereka berada dalam keadaan baik untuk menyebar kepada masyarakat yang lebih luas – terutamanya golongan miskin di bandar.

Maka, dasar kelas Islamisme adalah serupa dengan fasisme klasik seperti yang pernah dihuraikan oleh Leon Trotsky. Segala pertubuhan-pertubuhan ini telah merangkul sokongan dari kelas menengah kolar putih dan para pelajar, serta dari borjuasi kecil komersil dan profesional. Namun, terdapat juga perbezaan di antara gerakan-gerakan Islamis di negara-negara seperti Maghribi, Malaysia dan Mesir dan peranan yang dimainkan oleh fasisme. Gerakan-gerakan Islamis bukannya bertentangan sepenuhnya dengan pertubuhan-pertubuhan pekerja dan tidak menawarkan diri mereka kepada sektor-sektor kapital utama sebagai cara untuk menyelesaikan masalah-masalah negara. Mereka seringkali terlibat dalam konfrontrasi terbuka dengan kuasa-kuasa kerajaan dalam cara yang jarang sekali dilihat dengan parti-parti fasis. Dan gerakan-gerakan ini juga telah mendukung laungan-laungan anti-imperialis dan beberapa tindakan anti-imperialis.

Tetapi jika ia adalah salah untuk melihat gerakan-gerakan Islamis sebagai ‘fasis,’ ia juga adalah salah hanya untuk melihatnya sebagai ‘anti-imperialis’ atau ‘anti-kerajaan.’ Mereka bukan sahaja menentang kelas-kelas dan kerajaan-kerajaan yang menguasai rakyat jelata. Mereka juga menentang sekularisme, menentang kaum perempuan yang enggan mengikuti hukum syariah, menentang sayap kiri dan, dalam kes-kes penting, menentang minoriti-minoriti kaum atau keagamaan. Misalnya, setelah mengukuhkan kekuasaan mereka di universiti-universiti pada tahun 1970-an dan 1980-an, pihak Islamis Maghribi telah menyerang gerakan sayap kiri dengan kerjasama daripada pihak polis (malah, orang pertama yang dibunuh oleh mereka merupakan seorang ahli gerakan Trotskyis). Mereka juga telah mengutuk majalah-majalah muzik Barat seperti Hard Rock, hubungan sama seks, dan lagu-lagu punk semasa pesta buku pada tahun 1985. Malah, mereka juga telah mengaturkan serangan pada perempuan yang menunjukkan kulit mereka, serta serangan-serangan ke atas gerakan feminis dan sekularis, di mana kaum perempuan seringkali menjadi mangsa utama. Serupa dengan itu, Sarakat-e-Islam di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam pembunuhan lebih kurang sejuta orang komunis oleh pemerintahan diktator Jeneral Suharto pada tahun 1965.

Sebenarnya, walaupun pihak Islamis seringkali meletakkan tekanan pada ‘anti-imperialisme,’ mereka seringkali melepaskan imperialisme tanpa hukuman. Kemelaratan rakyat jelata tidak dapat disalahkan pada agensi-agensi seperti Bank Dunia dan Dana Kewangan Antarabangsa sahaja. Ia juga adalah hasil perlibatan pihak kapitalis dan kerajaan-kerajaan dalam pengeksploitasian rakyat. Ia adalah mereka yang mengamalkan polisi-polisi yang merosakkan kehidupan rakyat. Dan ia adalah mereka yang menggunakan polis, tentera dan penjara untuk menghancurkan sesiapa yang berani menentang mereka. Dalam keadaan seperti ini, mana-mana ideologi yang menghadkan dirinya kepada menyasari imperialisme asing sebagai musuh, sebenarnya mengelakkan apa-apa konfrontasi dengan sistem tersebut. Ia meluahkan kepahitan rakyat, tetapi tidak memberikan fokus kepada musuh-musuh sebenar. Mereka menunjukkan musuh nyata, iaitu sistem imperialisme dunia, tetapi mereka tidak menyalahkan borjuasi tempatan, iaitu rakan kongsi imperialisme.

Gerakan-gerakan seperti ini juga sangat keliru dengan perjuangan sejati menentang imperialisme dan perjuangan ideologi semata-mata menentang apa yang mereka melihat sebagai kesan-kesan budaya. ‘Imperialisme budaya’ dikenalpasti sebagai punca segala yang buruk dengan masyarakat. Maka, perjuangan tidak lagi ditujukan pada kuasa-kuasa yang menghancurkan kehidupan rakyat, tetapi pada mereka yang bertutur dalam bahasa ‘asing,’ menerima agama ‘luar negara’ atau menolak gaya hidup ‘tradisional.’ Maka, ia menghadkan tentangan-tentangan yang gerakan-gerakan seperti itu menghadapkan kepada imperialisme sebagai sebuah sistem.

Sifat bercanggah Islamisme mengikuti dari dasar kelas gerakan ini. Borjuasi kecil sebagai sebuah kelas tidak dapat mengikuti polisi bebas dan jelas. Ini sentiasanya adalah benar mengenai borjuasi kecil tradisional – pekedai-pekedai kecil, pedagang-pedagang dan profesional-profesional. Mereka sentiasa terperangkap di antara keinginan konservatif bagi kesemalatan yang memandang ke masa silam dan harapan bahawa mereka akan mendapat keuntungan dari perubahan radikal. Arah yang mereka akhirnya memupuk bukan sahaja bergantung pada faktor-faktor materialis. Ianya juga bergantung kepada perjuangan-perjuangan yang berlaku pada skala antarabangsa dan kebangsaan. Walau bagaimanapun, percanggahan-percanggahan Islamisme tidak akan melesap, dan ini jelasnya kelihatan dalam cara penganut-penganut mereka seringkali bertempur dan bergolak.

Agama dan sosialisme

Sejak kebelakangan ini, media massa borjuasi telah memberikan tumpuan kepada ‘gejala’ fundamentalisme. Kelas-kelas pemerintah di kebanyakan negara Dunia Ketiga sedang merungut kerana ancaman Islamisme terhadap kekuasaan mereka. Kadang-kala ini mengambil bentuk penindasan terhadap kumpulan-kumpulan Islamis (seperti yang pernah berlaku di Mesir) dan kadang-kala pihak-pihak berkuasa semakin menggunakan bahasa Islamis dalam usaha melemahkan kumpulan-kumpulan Islamis sendiri (seperti yang kini dilakukan dengan parti pemerintah Malaysia di bawah Mahathir). Tetapi sebenarnya, seperti yang telah diperdebatkan di atas, kebangkitan semula Islamisme adalah hasil kegagalan kelas kapitalis untuk memuaskan keperluan-keperluan rakyat.

Ia adalah penting bagi pihak sosialis untuk memahami bahawa pada masa-masa kemunduran ekonomi dan pergolakan politik, pihak Islamis dapat menggunakan perbezaan-perbezaan kelas untuk mendapat sokongan di kalangan rakyat jelata. Namun, satu-satunya kuasa yang dapat menghalang kebangkitan Islamisme fundamentalis serta imperialisme adalah gerakan kelas pekerja revolusioner. Untuk memahami kenyataan ini, kita perlulah terlebih dahulu mengkaji hubungan di antara ideologi dan agama.

Salah satu daripada kenyataan oleh Karl Marx yang paling terkenal adalah bahawa agama merupakan “candu rakyat jelata.” Ini biasanya diambil untuk bermakna bahawa orang ramai seolah-olah diperdayakan oleh agama, dan bahawa penganut-penganut agama adalah bersifat pasif. Iaitu, kelas-kelas pemerintah menggunakan agama untuk memunasabahkan peperangan, perundangan dan, paling penting, pembahagian kelas. Sememangnya, idea-idea keagamaan membantut pemahaman sebenar mengenai kuasa-kuasa sosial yang menyebabkan pengeksploitasian dan penindasan. Tetapi Marx juga sedar bahawa ia tidak mencukupi untuk mengatakan bahawa agama adalah doktrin palsu – seseorang perlulah juga melihat akar sosial agama dan keperluan-keperluan yang ia memenuhi. Dari segi ini, agama bukan sahaja merupakan ejen penindasan, tetapi ia juga meluahkan harapan mereka yang ditindas – “Agama adalah keluhan binatang yang ditindas sebagaimana ia adalah jiwa dalam keadaan tidak berjiwa. Ia adalah candu rakyat jelata.”

Orang ramai memeluk agama kerana ia memenuhi keperluan-keperluan rohani mereka dalam sebuah dunia yang dipenuhi dengan persaingan, kesengsaraan dan penindasan. Dalam sebuah masyarakat yang dibahagikan oleh kelas, di mana lapisan-lapisan atasan dapat hidup dengan mewah sambil majoriti orang hidup membanting tulang, agama seolah-olah dapat memberikan jawapan kepada kesusahan orang ramai. Agama seolah-olah memberikan kestabilan dalam kehidupan apabila seseorang berhadapan dengan keburukan-keburukan yang dibangkitkan oleh sistem kapitalis – biarpun di pusat-pusat bandar semasa revolusi perindustrian di Britain mahupun di persisiran bandar-bandar besar seperti Manila di Filipina atau Tehran di Iran.

Pihak sosialis yang menerima idea-idea Marxsis sejati tidak mempunyai mana-mana pandangan beragama atau metafizikal mengenai dunia; sebaliknya, pihak sosialis sejati adalah atheis. Pendek kata, pihak sosialis berjuang untuk kehidupan yang lebih baik di dunia ini, dan enggan menaruh harapan pada apa-apa pandangan metafizikal. Namun, pada masa yang sama, pihak sosialis akan menyokong dengan menyeluruh mana-mana golongan yang ditindas atau mengalami keganasan kerajaan. Misalnya, pihak sosialis di Britain telah bekerjasama sepenuhnya dengan penganut-penganut Islam, Kristian dan agama-agama lain untuk membina demonstrasi-demonstrasi besar menentang peperangan di Afghanistan.

Sebab mengapa pihak sosialis bersedia bekerjasama dengan penganut-penganut agama bukannya rumit – kami mempertahankan hak asasi orang ramai untuk menganut agama, tetapi kami juga mempertahankan hak untuk mengutuk agama. Maka, semasa demonstrasi-demonstrasi anti-peperangam, pihak sosialis di Britain tidak memberikan sokongan kepada pihak Islamis yang tidak membenarkan kaum perempuan untuk berdemonstrasi. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin revolusioner Rusia, V. I. Lenin, “Kerajaan tidak patut menyibukkan dirinya dengan agama. Masyarakat-masyarakat keagamaan tidak patut terikat dengan kerajaan. Setiap orang patut bebas menganuti mana-mana agama yang digemarinya, atau untuk menolak segala agama, iaitu untuk menjadi seorang atheis, seperti setiap orang sosialis biasanya menjadi.”

Pihak sosialis sentiasa membina gerakan agar orang ramai melihat dengan sendiri bahawa kelas pekerja mempunyai kuasa untuk mengubah kehidupan mereka sendiri, untuk mengubah sejarah. Kami berjuang demi sebuah dunia di mana rakyat jelata tidak lagi perlu mencari keselamatan dalam idea-idea keagamaan dan keajaiban. Pihak Islamis hanya dapat diatasi melalui gerakan pekerja yang kuat, seperti yang telah dibuktikan berkali-kali oleh sejarah manusia. Misalnya, pihak Islamis di Pakistan sentiasa mendapati diri mereka dihimpit apabila perjuangan kelas telah mengutarakan diri. Semasa pilihanraya pada tahun 1970, yang diadakan selepas kemuncak gerakan revolusioner rakyat, pihak Islamis telah mengalami kekalahan mendalam. Ini telah berlaku walaupun setiap parti sayap kanan telah bersatu dan pilihanraya tersebut dikatakan pertempuran di antara pihak ‘kafir’ dan Islam. Kesemua ulama utama serta imam-imam utama dari Mekkah telah memberikan restu kepada persekutuan Islam ‘anti-sosialis,’ tetapi rakyat jelata masih telah memberikan sokongan kepada parti-parti yang berjuang pada dasar revolusioner.

Kesimpulan

Ia adalah kesilapan untuk melihat gerakan-gerakan Islamis sebagai sesuatu yang semestinya bersifat reaksioner atau fasis, mahupun semestinya bersifat anti-imperialis atau progresif. Islam radikal, dengan projek membina semula masyarakat pada contoh yang didirikan oleh Mohammed pada abad ke-7 sebenarnya adalah utopia yang muncul dari kelas menengah kecil. Sebagaimana dengan mana-mana utopia kelas menengah yang lain, penyokong-penyokongnya berhadapan dengan pilihan di antara percubaan sia-sia untuk memaksa cara kehidupan yang lain pada rakyat jelata sambil berhadapan dengan tentangan dari mereka yang memerintah masyarakat yang sedia ada, atau berkompromi dengan mereka untuk memberikan dasar ideologi bagi penindasan yang berterusan. Ia adalah ini yang membawa pemisahan-pemisahan di antara sayap Islamisme radikal dalam satu tangan dan sayap reformasi dalam tangan sebelah.

Pihak sosialis tidak dapat menganggap pihak utopia borjuasi kecil sebagai musuh utama kami. Mereka tidak bertanggungjawab bagi sistem kapitalisme global, bagi kebinasaan berleluasa yang telah dialami oleh kawasan-kawasan yang luas di tangan kuasa-kuasa imperialis. Tetapi, pihak sosialis juga tidak dapat memberikan sokongan kepada pihak Islamis. Itu hanyalah sama dengan menggantikan satu bentuk penindasan dengan bentuk penindasan yang lain. Ia adalah sama dengan membalas kekejaman kerajaan dengan mengabaikan pertahanan minoriti-minoriti suku kaum dan bangsa, kaum perempuan dan mereka yang mengamalkan hubungan sama seks. Ia hanyalah akan menjadikannya lebih mudah bagi pengeksploitasian kapitalis untuk berterusan tanpa kawalan, selagi ia mengambil bentuk-bentuk ‘Islamis.’

Paling penting sekali, ia adalah sama dengan mengabaikan politik sosialis bebas, berdasarkan pekerja dalam perjuangan menentang penindasan dan pengeksploitasian. Ini adalah kerana kelas pekerja merupakan satu-satunya kelas yang dapat menyatukan segala warganegara, kaum, bangsa dan kumpulan-kumpulan keagamaan dalam gerakan yang berkuasa. Hanya gerakan perjuangan kelas seperti itu dapat menghancurkan perbezaan-perbezaan bangsa, warna kulit, agama dan prasangka-prasangka silam yang lain untuk membawa masyarakat ke hadapan. Umat manusia hanya dapat diselamatkan daripada gejala kapitalisme dan Islamisme melalui revolusi sosialis. Gerakan-gerakan seperti ini telah memenuhi sejarah manusia, dan ia akan bangkit sekali lagi.

Saya menggunakan perkataan ‘Islamisme’ dan ‘Islamis’ dalam rencana ini untuk memaksudkan aktivisme Islam dan pihak yang mengajukan aktiviti Islam masing-masing. Perkataan-perkataan ini haruslah dibezakan daripada ‘fundamentalisme’ kerana Islamisme sebenarnya adalah sesuatu yang agak moden – ia telah bangkit lebih kurang dalam abad yang lalu sebagai (secara umumnya) tentangan terhadap penjajahan Timur Tengah oleh kuasa-kuasa imperialis.

Untuk sejarah lebih lanjut, sila rujuk kepada T. Ali, The Clash of Fundamentalisms, Penerbit Verso, (London, 2002) atau K. Armstrong, A History of God, Penerbit Vintage (London, 1993).

C. Harman, The Prophet and the Proletariat, diterbitkan buat kali pertama dalam jurnal International Socialism, Jilid 64 (Musim Luruh 1994), diterbitkan sebagai risalah pada tahun 1999 dan dicetak semula dengan tambahan pada tahun 2002 (Parti Pekerja Sosialis, London).

Refrensi:
http://arts.anu.edu.au/suara/salleh4.rtf

Riba “Kontemporer” dan Etika Bisnis Islam

Istilah riba "kontemporer" di sini digunakan untuk merujuk kepada konsep riba yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur (lahir 1938), seorang insinyur berkebangsaan Syria, di dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah (1990). Judul ini secara bebas dapat dialihbahasakan menjadi al-Kitab dan al-Qur’an: Sebuah Pemahaman Kontemporer. Untuk membedakan dengan konsep lain mengenai riba, maka penulis menamakan konsep tentang riba yang ditawarkannya tersebut dengan riba ‘kontemporer’, sesuai dengan ‘maskot’ bukunya.
Pandangan Syahrur tentang riba tidak dapat dilepaskan dari teori batas (nazhariyyah al-hudud) yang diajukannya berkenaan dengan hukum Islam secara umum. Berdasarkan kajiannya terhadap al-Qur’an, ia menyimpulkan bahwa aturan hukum Islam sesungguhnya bersifat dinamis dan elastis yang dapat menampung berbagai kecenderungan perubahan kehidupan umat manusia dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat lain sepanjang dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Batas-batas yang dimaksud yaitu batas bawah (al-hadd al-adna), dan batas atas (al-hadd al-a’la). Batas bawah merupakan batas minimum dari tuntutan hukum, sementara batas atas adalah batas maksimum. Perilaku hidup yang melampaui batas bawah dan atau melampaui batas atas yang telah ditentukan dipandang telah melanggar hukum dan wajib dijatuhi hukuman secara proporsional menurut pelanggarannya.
Berdasarkan pengamatannya terhadap sejumlah ayat yang berkenaan dengan aturan hukum atau perilaku hidup manusia pada umumnya, Syahrur menyimpulkan adanya enam kategori hukum dalam kaitannya dengan teori batas. Pertama, ketentuan hukum yang hanya diberikan batas bawahnya, misalnya dalam hal macam-macam makanan yang diharamkan. Maksudnya jenis-jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam Qur‘an limitasinya bersifat minimal. Kedua, ketentuan hukum yang hanya diberikan batas atasnya, contohnya hukuman bagi tindak pidana pencurian, hukuman potong tangan yang disebutkan dalam Qur‘an merupakan bentuk hukuman maksimal. Jadi, dimungkinkan adanya hukuman dalam bentuk lain yang kualitasnya di bawah hukuman potong tangan. Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus yakni yang berlaku dalam hukum waris (fara’id). Bagian anak laki-laki yang dua kali lipat anak perempuan merupakan batas atasnya, sementara bagian anak perempuan yang hanya setengah bagian anak laki-laki merupakan batas bawahnya. Maksudnya bagian anak laki-laki sudah mentok, tidak bisa lagi ditambah, tetapi dimungkinkan untuk dikurangi hingga mendekati perimbangan dengan bagian anak perempuan. Sebaliknya, bagian anak perempuan tidak dapat lagi dikurangi, tetapi dimungkinkan untuk ditambah hingga mendekati perimbangan dengan bagian anak laiki-laki.
Keempat, ketentuan yang batas bawah dan atasnya berada dalam satu garis sehingga ia tidak dapat dikurangi maupun ditambahi, dan ini berlaku pada hukuman bagi orang yang berbuat zina (100 kali jilid) dengan syarat adanya empat orang saksi atau dengan melalui prosedur li’an. Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas, tetapi batas ini tidak boleh disentuh karena bila menyentuh batas berarti telah terjatuh dalam larangan. Ketentuan ini berlaku pada pergaulan laki-laki dan perempuan di mana batas bawahnya berupa kondisi tidak adanya persentuhan (interaksi) sama sekali di antara lawan jenis, sementara batas atasnya adalah zina. Keenam, ketentuan yang memiliki batas atas yang bernilai positif (+) dan batas bawah yang negatif (-). Batas atas tidak boleh dilampaui, sementara batas bawah boleh. Dalam bentuk keenam inilah pandangan Syahrur tentang riba ditempatkan.
Menurut Syahrur bentuk keenam dari teori batas ini berlaku, misalnya, dalam hal hubungan kebendaan di antara sesama manusia. Batas atas, yang positif (+) berupa riba, sedangkan batas bawah yang negatif (-) berupa zakat. Batas bawah bisa dilampaui, yakni dengan memberikan sedekah sunat, di samping membayar zakat yang memang hukumnya wajib. Di antara kedua batas ini (positif dan negatif) terdapat keadaan yang bernilai nol, yang wujudnya berupa pemberian kredit dengan tanpa memungut bunga (al-qard al-hasan).

Setelah menghimpun dan menganalisis sejumlah ayat yang berkenaan dengan riba, Syahrur menyimpulkan adanya empat poin penting mengenai riba yang mesti diperhatikan, yaitu: (i) riba dikaitkan dengan sedekah, (ii) riba dikaitkan dengan zakat, (iii) ditetapkannya batas atas bagi bunga (riba) yang dipungut, dan (iv) adanya kondisi yang bernilai nol. Menurutnya, kendati riba merupakan persoalan yang sangat pelik, bahkan bagi Umar ibn al-Khattab sekalipun, namun karena keterkaitannya dengan zakat dan sedekah begitu kokoh—sementara keduanya cukup jelas maknanya—maka untuk menyingkap makna riba dapat dilakukan dengan memahami kedua hal tersebut (zakat dan sedekah). Melalui kerangka analisis semacam ini, setelah sebelumnya ia memaknai riba dengan tumbuh dan tambah, Syahrur akhirnya menyimpulkan adanya tiga kondisi menyangkut riba.
Pertama, berdasarkan Q.S. al-Taubah: 60, fakir dan miskin termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Menurutnya miskin adalah orang yang menurut kondisi sosial dan ekonomi yang ada, tidak mampu menutup hutangnya. Terhadap orang dengan kondisi demikian, berlaku ayat: "Allah akan hapuskan (berkah) riba dan tumbuhkembangkan sedekah" (al-Baqarah: 276), di samping juga ayat-ayat lain yang berisi kecaman keras terhadap praktik riba (al-Baqarah: 275, 278, dan 279). Oleh karena itu, harta yang disalurkan kepada mereka pada prinsipnya bukan dalam bentuk kredit, tetapi dalam bentuk hibah, dan pahalanya terserah kepada Allah. Kedua, terhadap orang yang hanya mampu menutup hutang pokoknya dan tidak mampu membayar bunga, maka diberikan pinjaman yang bebas bunga (al-qard al-hasan). Di sini berlaku ayat 279 al-Baqarah yang menyatakan bahwa hanya harta pokok yang boleh diminta. Kendati demikian, karena orang ini tergolong orang yang berhak menerima sedekah, maka akan lebih utama jika pihak kreditur mau mem-bebaskan piutangnya. Ketiga, terhadap para pengusaha yang nota bene bukan berkategori penerima zakat, kredit yang diberikan dapat dipungut bunganya dengan ketentuan besarnya tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan. Batas atasnya adalah jumlah beban bunga yang harus dibayar sama dengan jumlah hutang pokoknya. Hal ini berdasarkan ayat: "Hai orang-orang mu’min jangan makan riba yang berlipat ganda" (Al ‘Imran: 130).
Atas dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar sistem bank Islam, yaitu: 1) Mereka yang berhak menerima zakat tidak diberikan kredit, melainkah diberi hibah (sedekah); 2) Dalam kondisi tertentu dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit yang bebas bunga, yakni bagi mereka yang pantas diberi sedekah; 3) Dalam bank Islam tidak boleh ada kredit yang tempo pembayarannya tidak dibatasi hingga beban bunga yang harus dibayar lebih besar daripada hutang pokoknya. Jika hal ini terjadi juga, maka pihak debitur berhak menolak untuk membayar bunga yang melebihi batas tersebut.
Demikianlah teori yang dikemukakan Syahrur tentang riba. Dapat disimpulkan bahwa menurutnya, bunga adalah riba, namun ia boleh dipungut asal memperhatikan kondisi objektif pihak debitur. Debitur dari kalangan anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat dan sedekah, termasuk orang yang hanya mampu membayar hutang pokok, tidak boleh dipungut riba, bahkan sebagian dari mereka hendaknya tidak diberi kredit, melainkan hibah. Selain dari kalangan mereka, riba boleh dipungut, tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang telah ditentukan.
Dalam konteks etika bisnis Islam, pemikiran Syahrur tentang riba memiliki implikasi yang berbeda dari pandangan yang umum dikenal. Menurutnya, tidak setiap bisnis yang melibatkan riba (bunga) itu dilarang, dan karenanya dianggap tidak etis. Riba dalam perjanjian kredit yang dibebankan kepada kalangan pelaku bisnis dan orang-orang yang berekonomi kuat tidaklah melanggar etika ataupun hukum Islam sepanjang riba yang dipungut tidak melebihi batas maksimal yang telah ditentukan. Dengan demikian, bunga bank konvensional menurut pandangan ini tidak dilarang karena bunga yang dipungut umumnya tidak berlipat ganda. Selanjutnya, bisnis apapun yang melibatkan bank konvensional sebagai mitra kerja dianggap tidak melanggar etika bisnis Islam.
Akan tetapi, bunga yang dipungut dari orang-orang yang tidak termasuk dalam kategori ekonomi kuat ataupun pelaku bisnis sebagaimana yang disebutkan di atas dianggap sebagai perilaku bisnis yang tidak etis. Dalam menyalurkan dana, ataupun harta dalam bentuk yang lainnya, haruslah dilihat kondisi pihak-pihak yang akan diberi. Sebagian di antara mereka, menurut kondisi sosial dan ekonomi yang ada, mungkin pantas diberi kredit, tetapi bebas bunga, sebagian yang lain mungkin pantas diberi sedekah saja. Para ahli ekonomi dan kemasyarakatan bisa membantu menentukan kriteria yang kongkrit tentang golongan ekonomi yang bagaimana yang pantas dipungut bunga dari kredit yang diterimanya, yang pantas diberikan kredit tanpa bunga, dan yang seharusnya diberi hibah (sedekah), bukan kredit.
Dengan demikian tampaklah bahwa aturan hukum Islam, khususnya mengenai riba, bersifat dinamis dan elastis yang pene-rapannya dapat mempertimbangkan kondisi objektif para pihak yang terlibat dalam sebuah perikatan bisnis. Konsep riba "kontemporer" yang digagas oleh Syahrur hendaknya dilihat dalam konteks gerak dinamis tersebut, gerak ini ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu.

Copyright © 2008 - MATERI EKIS - is proudly powered by Blogger
Blogger Template